Thursday, March 23, 2017

MENUJU BAITULLAH

PERSIAPAN
Ibadah haji merupakan ibadah yang di dalamnya terhimpun berbagai kondisi, yaitu kematangan jiwa, ketahanan fisik dan kemampuan harta. Kondisi yang pertama yaitu kematangan jiwa dimaksudkan sebagai kesiapan ruhiyah dalam memenuhi panggilan Allah dan kesiapan mental untuk menjadi manusia haji, bukan semata-mata telah berhaji. Kondisi kedua yaitu ketahanan fisik diperlukan dalam rangka mendukung terlaksananya seluruh prosesi haji dengan baik. Sebab, sejak dari berangkat sampai kembali dari mekah, para hujjaj (orang yang melaksanakan haji) dituntut memiliki ketahanan fisik yang prima. Kondisi ketiga yaitu kemampuan harta dimaksudkan sebagai kemampuan finasial yang harus dimiliki oleh setiap hamba yang ingin berziarah ke Baitullah, selain itu bukan hanya disyaratkan ada harta, melainkan memperolehnya pun harus dengan cara yang halal.

PERJALANAN SPIRITUAL
Berziarah ke Baitullah bukan sekedar perjalanan dari tanah air menuju kabah dan Arafah, melainkan lebih merupakan perjalaan spiritual dari keindividuan menuju keumatan. Pada tahapan ini seorang muslim haruslah memiliki bekal pemahaman tentang ibadah yang akan dijalankannya.
Pada dasarnya ibadah diperuntukkan untuk setiap tempat dan setiap waktu. Namun ada beberapa ibadah yang oleh syariat telah ditetapkan waktu atau pun tempat pelaksanaanya. Secara syar'i haji adalah melakukan ziarah ke tempat yang khusus pada waktu yang khusus dan di tempat yang khusus pula, selain itu hanya dilakukan dalam bulan-bulan tertentu (Syawal, Dzulqaidah, 10 hari awal bulan Dzulhijjah).
Haji dipandang sah bila pelaksanaannya di Baitullah dan Arafah mengikuti tradisi yang diwahyukan kepada nabi Ibrahim as. Dengan alasan apapun ketentuan syariat ini tidak dapat diubah, baik dengan alasan keamanan, efektivitas waktu maupun hal lainnya. Oleh sebab itu ketika seorang muslim keluar dari rumahnya menempuh perjalanan berziarah ke Baitullah, meninggalkan segenap kepentingannya yang kesemuanya merupakan kesenangan jiwa manusia, ia melakukannya hanya demi mewujudkan harapannya mendapat rahmat dan ridha-Nya, bukan karena sesuatu yang lain.

BERBEKAL HARTA DAN TAKWA
Rasul bersabda : "Orang Yaman berhaji tanpa membawa bekal, mereka menyatakan diri sebagai orang-orang yang bertawakkal, sesampainya di Mekah mereka meminta pada manusia, kemudian Allah menurunkan ayat 'berbekallah kamu sekalian dan sebaik-baiknya bekal adalah takwa'." (Hr Bukhari).
Setiap jamaah haji harus mempersiapkan bekal berupa harta dan ketakwaan. Harta merupakan bekal yang bersifat materi, harta adalah sebagai penunjang yang akan memudahkan para hujjaj selama perjalanan ibadah haji berlangsung. Adapun ketakwaan merupakan bekal mental dan spiritual. Bekal materi akan menghindarkan diri dari menggantungkan harapan pada orang lain, sedang bekal takwa dimaksudkan menjadikan hujjah berbuah haji mabrur.
Takwa adalah kekuatan ruhiyah, spiritual dan mentalitas, hal ini sangat diperlukan karena ritual haji sangat membutuhkan kesabaran, keuletan, ketekunan dan kebersihan jiwa. Disaat melakukan thawaf seorang hujjaj harus siap dan rela berdesak-desakan dengan sesama hamba Allah lainnya. Tidak boleh ada perasaan angkuh, tinggi hati dan amarah. Ketika ber-sa'i harus ditunaikan secara jujur dan sempurna sesuai tuntunan Rasulullah, tidak boleh ada perasaan ingin dihormati dan dibedakan yang membuat timbulnya perasaan tidak ingin bersama atau disamakan dengan orang bersa'i pada umumnya. Sepanjang prosesi haji, para hujajj tidak boleh dusta, ghibah dan namimah (mengadu domba) pun beramarah.
Melepaskan baju dan menggantinya dengan kain ihram sebagai tanda kesamaan sekaligus penajaman visi. Kain ihram yang mirif dengan kain kapan adalah sebagai penanda dekatnya kematian dan perpisahan dengan dunia. Penajaman visi tentang kehidupan sangat tergambar dalam tampilan orang yang sedang mengenakan kain ihram, tiada harta selain beberapa helai kain, tiada pula status yang membuatnya harus diprioritaskan.
Memotong rambut adalah pertanda kekhusukan, menghinakan diri di hadapan Allah. Menjauhi wangi-wangian pertanda pengendalian terhadap keinginan jiwa dan nafsu, sebab wewangian adalah pelezat nafsu, maka menjauhinya dalam rangka mentaati Allah akan menghantarkan pada kedekatan dengan Allah. Pakaian indah, tampilan rambut dan wewangian, semuanya adalah hiasan nafsu. Tiga hal ini harus dijauhi saat prosesi haji, agar para hujjaj benar-benar insaf akan posisinya sebagai manusia. Di hadapan-Nya, manusia sangat hina, fakir dan lemah walau ia kaya raya dan terhormat, bahkan seorang Raja sekalipun. Hendaklah ia bergantung hanya kepada-Nya yang Maha Mulia, Maha Kaya dan Maha Perkasa. Setelah menyadari akan serba kekurangan dirinya, maka berlanjut pada pengagungan terhadap Rabnya.

TALBIYAH
Ungkapan talbiyah merupakan jawaban hamba terhadap seruan (panggilan) Yang Maha Perkasa (Al-Hajj 27) sekaligus membawa pesan Illahi akan kepatuhan hamba pada Rabnya. Para hujjaj hendaknya tidak hanya sekedar menghafal lafadz-lafadz talbiyah tersebut, melainkan harus memahami dan melaksanakan pesan-pesan yang dibawanya. Ibadah haji merupakan penutup rukun Islam, karenanya dalam ibadah haji terhimpun inti dari rukun-rukun Islam yang lain. Dalam ungkapam talbiyah terkandung seluruh bagian-bagian tauhid : "Labbaik Allahummalabbaik labbaika la syariika laka labbaika innalhamda wal ni'mata laka wal mulka lasyariika laka".
Kalimat 'al nimata laka' merupakan pengakuan atas tauhid rububiyah, sedangkan tauhid mulkiyah ada pada kata 'wa al mulk' dan tauhid uluhiyah terdapat pada kata 'La syarika laka". Ketiga unsur tauhid tersebut merupakan inti dari dua kalimah syahadah. Rukun Islam lainnya seperti shalat tergambar dalam shalat dua raka'at sebelum thawaf, sedangkan puasa dilaksanakan para hujjaj sebanyak tiga hari selama proses ibadah haji dan tujuh hari lainnya setelah kembali ke tanah air. Demikian pula dengan zakat dan shadakah tampak pada biaya yang harus dikeluarkan para hujjaj dalam kaitannya dengan perjalanan selama menunaikan ibadah haji.

THAWAF
Thawaf merupakan amalan yang paling pertama dilakukan para hujjaj sesampainya di mekah (thawaf qudum). Seolah-olah merupakan tahiyyatul haram sebagaimana penghormatan pada masjid dengan tahiyyatul Masjid. Ketika para hujjaj telah sampai di hadapan kabah, di tempat itulah ia melakukan thawaf, tidak ada tempat di belahan bumi manapun yang disyariatkan untuk thawaf melainkan di pusaran kabah.
Thawaf adalah simbol dari pengagungan, bukan kepada kabah tetapi pada Zat pemiliknya. Pengagungan kepada Allah dari segala arah, segala waktu dan keadaan. Orang yang sedang bethawaf sejatinya sedang membina kedekatannya dengan Allah Swt.
Siapa yang selalu dekat dengan Allah tentu ia akan mengingat Allah dalam setiap keadaan. Orang yang hatinya selalu tertuju pada Allah, tentu malu dan takut jika berada dalam murka Allah. Kedekatan menghasilkan kecintaan, kecintaan menghasilkan ketundukkan, ketundukkan melahirkan pemujaan atau penyembahan. Hujjaj yang mabrur adalah mereka yang telah jatuh cinta pada Allah sampai pada titik penghambaan sebagai bukti dari rasa cintanya.

HAJAR ASWAD
Di saat melakukan thawaf disunahkan untuk mencium hajar aswad, jika sulit menjangkaunya cukup melambaikan tangan kanan dari kejauhan. Seperti halnya thawaf di pusaran Kabah, tidak ada satu jenis batu atau benda yang oleh syariat diharuskan untuk dicium melainkan hajar aswad. Ini memberi isyarat bahwa manusia dalam beagama harus tunduk pada syariat yang qath'i (tertentu). Sebagaimana ungkapan mashyur yang diucapkan Umar bin Khatab, seorang sahabat Nabi Saw yang terkenal dengan ketegasan namun berhati lembut, kepada batu tersebut : "Sungguh aku mengetahui bahwa kamu benar-benar hanyalah sebuah batu yang tidak memberikan mudharat dan juga tidak memberikan manfaat. Seandainya aku tidak melihat kekasihku Nabi mencium kamu, maka aku tidak mau mencium kamu."
Dengan demikian para hujjaj harus mampu menangkap pesan syariat thawaf, mencium hajar aswad melalui perkataan umar tersebut. Beribadah haji bukan terletak pada Kabahnya melainkan terletak pada pemenuhan terhadap panggilan Allah Zat Pemilik Kabah.

HARI ARAFAH
Rasul bersabda : "Haji itu Arafah, siapa yang sampai di Muzdalifah sebelum subuh maka hajinya sempurna". (Nasa'i)
Ungkapan nabi ini memberi isyarat tentang keagungan wukuf di Arafah, sehingga dianggap tidak sah haji yang tidak menuntaskannya di Arafah, sebagaimana shalat tidak syah tanpa membaca Al-Fatihah dan tidak berharga sebuah amal tanpa niat.
Di sebuah tempat di padang Arafah yang bernama Namirah dan juga seluruh seluruh wilayah Arafah, disampaikann khutbah Arafah menjelang pelaksanaan shalat dzuhur dan Ashar secara jamak. Di dalam khutbah tersebut disampaikan keadaan umat Islam. Kemudian ditindak lanjuti lagi pada saat bermalam di Mina selama hari tasyrik. Karena seluruh jamaah haji berkumpul di tempat ini (Arafah), sesungguhnya ini adalah momen yang tepat bagi para hujjaj untuk saling membicarakan dan memberi solusi terhadap persoalan yang dihadapi kaum muslimin. Khutbah Arafah memunculkan gagasan-gagasan baru seputar dunia Islam, sedang di Mina persoalah keumatan dibicarakan dengan lebih dalam dan rinci lagi. Inilah pesan haji yang termat agung, datang demi memenuhi panggilan-Nya dan pulang dengan membawa agenda perbaikan umat.


No comments:

Post a Comment