Hati terdiri dalam dua pengertian, yang pertama adalah hati yang berbentuk lahir, berada dalam tubuh kita dan merupakan salah satu organ penting, namun ada perbedaan dalam penunjukan tempatnya hati ini, sebagian mengatakan hati itu adalah jantung, sebagian lagi mengatakan hati itu adalah lever.
Rasulullah bersabda : "Ketahuilah, bahwa dalam tubuh manusia itu terdapat segumpal daging (mulghah). Bila segumpal daging itu bersih maka bersihlah seluruh tubuh. Dan bila segumpal daging itu rusak maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah kalbu".
Pengertian yang kedua adalah hati yang tidak berbentuk kebendaan, ia berada di dalam tubuh manusia tetapi tidak kasat mata dan kita hanya bisa merasakannya saja, oleh karenanya hakikat dari hati atau kalbu yang semacam ini adalah ruhaniah.
Hati atau kalbu cenderung berubah-rubah tergantung pada kekuatan jiwa yang menggerakkannya. Sementara itu jiwa memiliki dua sifat yang berkebalikan, yaitu sifat baik (muttaqa) dan sifat buruk( fuzara). Jika jiwa disucikan maka hati (kalbu)nya akan suci dan beruntunglah si empunya, sebaliknya jika jiwa dikotori maka kalbunya akan kotor dan merugilah dia.
Hati itu tempat tumbuh dan berseminya iman sebagaimana ditegaskan Allah dalam Qs Al-Mujadilah 22 : "Mereka adalah orang-orang yang Allah tuliskan keimanan dalam hati mereka". Iman memiliki arti meyakini dalam hati, mengikrarkan dengan lisan, melakukan dengan perbuatan. Namun iman sendiri sebagaimana hati, ia tidak bersifat tetap, ia seringkali berubah-ubah pula seiring dengan ketaatan dan keingkaran pelakunya. Jika kadar keimanan seseorang sedang naik, iman mejadikan tenang hatinya dan ia berpotensi beribadah dengan sebaik-baiknya. Namun ketika keimanan seseorang itu kadarnya turun, ia akan menderita penyakit malas dan akibatnya ia sanggup meninggalkan ibadah. Namun hati sesungguhnya selalu mengarah pada kebenaran, ia dengan nalurinya bersedia menerima segala pengetahuan, baik itu pengetahuan yang bersumber dari akal maupun agama, oleh sebab itu hati harus di didik agar selalu mengarah pada kebaikan sehingga iman pun memiliki ketetapan dan tidak selalu berubah-ubah.
Mendidik hati berarti membuatnya melakukan pembebasan dari nafsu yang serba buruk dan membuatnya belajar meraih jiwa yang sarat dengan keutamaan. Mendidik hati berarti melakukan proses ruhaniah dengan selalu menyucikan jiwanya dan menjaganya sepanjang waktu agar tidak lagi terkotori.
Namun adakalanya manusia merasa telah mendidik hatinya dengan benar, ia berkeyakinan telah memiliki hati yang sempurna dari nafsu kotor, bahkan ia telah melaksanakan ibadah dengan sempurna pula, kelanjutan dari semua itu pada akhirnya membuatnya merasa paling ber-Islam, beriman dan bertakwa lebih daripada orang lain. Kedalaman ilmu yang dimilikinya membuatnya merasa paling benar, sehingga ia tidak membutuhkan ilmu-ilmu baru, hatinya tertutup untuk nasihat-nasihat, bahkan sebaliknya merasa tidak perlu dinasehati lagi karena ia adalah orang yang sudah tahu segalanya. Sikap-sikap semacam itulah yang sering menjebak manusia pada keislaman yang dangkal, dimana perkataan, hati dan perbuatan jadi tidak sejalan lagi. Namun seperti itulah manusia yang merasa paling berilmu, semakin tinggi klaim keilmuan-nya semakin dalam ia terjebak dalam ketakaburan. Ia tidak menyadari hatinya yang sudah terdidik itu perlahan-lahan menuju kebutaannya dan dipenuhi oleh nafsu kotor kembali.