Ketika Rasulullah Saw sudah berada di kota Madinah dan membangun suatu negara Islam pertama, maka mulailah beliau mengatur masyarakat berdasarkan pada undang-undang Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah Rasul. Masyarakat ditata atas dasar persamaan hak dan kewajiban tanpa memandang sosial ekonomi tapi didasarkan pada ketakwaan kepada Allah. Tiada perbedaan manusia di hadapan Allah Swt, yang paling mulia di sisi Allah hanyalah yang paling takwa.
Ada dua kelompok masyarakat muslim yang tinggal di kota Madinah pada saat itu, yaitu kaum Muhajirin (berasal dari Makkah) dan kaum Anshar (penduduk asli Madinah), Rasulullah kemudian menjadikan kedua kelompok muslim tersebut bersaudara, saudara seagama, bahkan lebih dari itu mereka dijadikan seperti saudara kandung.
Persaudaraan Islam telah dikokohkan dengan firman Allah dalam QS Al-Hujurat 10 : "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara, oleh sebab itu perdamaikanlah (perbaiki hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah kepada Allah, mudah-mudahan kamu mendapat rahmat".
Sesama Muslim, baik laki-laki maupun perempuan dilarang saling menghinakan, saling mencela, saling memberi gelar (julukan) yang tidak baik. Hal ini ditegaskan lagi pada ayat 11 : "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok); dan janganlah pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar(julukan) yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim".
Dikaitkan dengan keimanan seseorang, Rasulullah menegaskan dalam sabdanya : "Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai (mengasihi) saudaranya, sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri." (HR Bukhari).
Hadis tersebut menjelaskan bahwa Islam mengajarkan persaudaraan Islam diukur dengan keimanan seseorang. Iman seseorang tidak sempurna sebelum seorang Islam belum mengasihi saudaranya seperti dia mengasihi dirinya sendiri bahkan lebih dari itu. Yang dimaksud saudara di sini tidak terbatas pada saudara karena hubungan darah saja melainkan lebih luas lagi, bisa saudara sebangsa, saudara seagama dan bahkan sesama manusia.
Banyak contoh teladan yang diberikan Rasulullah Saw, juga para sahabat beliau maupun para tabi'in tentang pengamalan hadis tersebut, yaitu mengasihi saudaranya seperti mengasihi dirinya sendiri, terutama hal ini terjadi di saat keadaan gawat dan darurat, di masa peperangan atau bencana alam lainnya. Di saat seperti itulah perlu saling bahu membahu dan tolong menolong dalam menyelamatkan jiwa raga, harta benda dan melindungi setiap rumah tangga dari bahaya kemusnahan.
Ada dua kelompok masyarakat muslim yang tinggal di kota Madinah pada saat itu, yaitu kaum Muhajirin (berasal dari Makkah) dan kaum Anshar (penduduk asli Madinah), Rasulullah kemudian menjadikan kedua kelompok muslim tersebut bersaudara, saudara seagama, bahkan lebih dari itu mereka dijadikan seperti saudara kandung.
Persaudaraan Islam telah dikokohkan dengan firman Allah dalam QS Al-Hujurat 10 : "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara, oleh sebab itu perdamaikanlah (perbaiki hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah kepada Allah, mudah-mudahan kamu mendapat rahmat".
Sesama Muslim, baik laki-laki maupun perempuan dilarang saling menghinakan, saling mencela, saling memberi gelar (julukan) yang tidak baik. Hal ini ditegaskan lagi pada ayat 11 : "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok); dan janganlah pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar(julukan) yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim".
Dikaitkan dengan keimanan seseorang, Rasulullah menegaskan dalam sabdanya : "Tidak sempurna iman seseorang sehingga ia mencintai (mengasihi) saudaranya, sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri." (HR Bukhari).
Hadis tersebut menjelaskan bahwa Islam mengajarkan persaudaraan Islam diukur dengan keimanan seseorang. Iman seseorang tidak sempurna sebelum seorang Islam belum mengasihi saudaranya seperti dia mengasihi dirinya sendiri bahkan lebih dari itu. Yang dimaksud saudara di sini tidak terbatas pada saudara karena hubungan darah saja melainkan lebih luas lagi, bisa saudara sebangsa, saudara seagama dan bahkan sesama manusia.
Banyak contoh teladan yang diberikan Rasulullah Saw, juga para sahabat beliau maupun para tabi'in tentang pengamalan hadis tersebut, yaitu mengasihi saudaranya seperti mengasihi dirinya sendiri, terutama hal ini terjadi di saat keadaan gawat dan darurat, di masa peperangan atau bencana alam lainnya. Di saat seperti itulah perlu saling bahu membahu dan tolong menolong dalam menyelamatkan jiwa raga, harta benda dan melindungi setiap rumah tangga dari bahaya kemusnahan.
No comments:
Post a Comment